Kisah H. Jaet Berdakwah, Menyusuri Sungai Buaya dan Jalan Berlumpur
TARAKAN – Jaet Ahmad Fatoni menarik napas dalam sebelum melangkah ke panggung. Dalam benaknya, terlintas perjalanan panjang dakwah para dai LDII di Kalimantan Utara.
Sungai yang harus dilalui dengan mendayung, jalanan berlumpur yang menjadi tantangan setiap musim hujan, serta semangat masyarakat yang tak pernah pudar dalam menimba ilmu agama. Semua itu menjadi bagian dari perjuangan para juru dakwah selama puluhan tahun.
Kini, ia berdiri di hadapan audiens dalam Podcast Rakornas LDII, siap berbagi kisah tentang dakwah di daerah perbatasan.
“Berdakwah di daerah perbatasan bukan perkara mudah,” ujarnya membuka pembicaraan.
Ketua DPW LDII Kalimantan Utara ini menegaskan bahwa jarak yang jauh, akses transportasi yang terbatas, serta minimnya infrastruktur menjadi tantangan besar.
Namun, hal itu tak menyurutkan langkah para dai. Semangatnya justru semakin berkobar seiring perkembangan yang terjadi di wilayah tersebut.
Jaet mengisahkan bagaimana perubahan signifikan dalam aktivitas keagamaan di Kalimantan Utara pada tahun 1985.
Saat itu, hanya ada enam keluarga yang aktif mengikuti pengajian LDII. Namun, berkat kerja keras dan komitmen dakwah yang tak kenal lelah, kini jumlah kepala keluarga yang terlibat dalam pengajian telah mencapai tidak kurang dari 15.000.
“Dulu, para ulama harus mendayung melewati sungai yang dihuni buaya untuk berdakwah ke desa-desa terpencil. Sekarang, alhamdulillah, mesin perahu sudah membantu perjalanan kami menjadi lebih cepat dan aman,” ungkapnya.
Kemajuan zaman memang membawa perubahan, tetapi esensi perjuangan tetap sama: menyebarkan nilai-nilai agama di tengah keterbatasan.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, Jaet menekankan pentingnya pemilihan juru dakwah yang memiliki karakter kuat.
Menurutnya, penerapan 29 karakter luhur menjadi kunci utama dalam menjaga semangat dan konsistensi dakwah. Ia mencontohkan bagaimana para dai yang memiliki karakter disiplin, jujur, dan sabar lebih mampu menarik minat masyarakat untuk belajar agama.
Pernyataan Jaet ini diamini oleh Ketua DPW Papua Selatan, Muhammad Bahroni, yang juga hadir dalam podcast tersebut. Bahroni menjelaskan bahwa tantangan dakwah di Papua Selatan tak kalah berat.
Wilayahnya berbatasan langsung dengan Australia dan Papua Nugini, terdiri dari empat kabupaten, termasuk Merauke yang berada di ujung timur Indonesia. Infrastruktur di sana masih minim, dengan jalanan tanah merah yang sulit dilalui saat hujan.
“Jika ingin membangun jalan beraspal, materialnya harus didatangkan dari Surabaya dengan biaya yang besar,” jelas Bahroni.
Meski begitu, metode dakwah di Papua Selatan tetap berfokus pada penanaman nilai perjuangan dan disiplin, serupa dengan pendekatan yang diterapkan di Kalimantan Utara.
Bagi Jaet Ahmad Fatoni dan Muhammad Bahroni, tantangan dakwah bukan untuk dihindari, melainkan dihadapi dengan tekad yang kuat. Ia percaya bahwa dakwah di daerah perbatasan adalah bagian dari perjuangan besar dalam menjaga moral dan spiritualitas bangsa. Dengan semangat pantang menyerah dan dukungan masyarakat, ia yakin bahwa cahaya dakwah akan terus bersinar di pelosok negeri. (*)